Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 5): Kebangkitan Kepemimpinan Quraisy atas Mekah
Pada artikel sebelumnya, kita telah menelusuri kepemimpinan Mekah dari masa Nabi Ismā’īl ‘alaihissalām hingga kekuasaan kabilah Khuzā’ah. Akan tetapi, sejarah belum berakhir di sana. Dalam artikel ini, kita akan menyaksikan bagaimana keturunan Nabi Ismā’īl kembali mengambil alih kepemimpinan Mekah melalui sosok Qushay bin Kilāb.
Masa muda Qushay bin Kilāb (قصي بن كلاب) dan kepulangannya ke Mekah
Qushay adalah seorang anak dari Kilāb bin Murrah. Kilāb meninggal dunia saat Qushay berada dalam pengasuhan ibunya. Setelah kejadian itu, ibunya menikah lagi dengan Rabi’ah bin Haram (ربيعة بن حرام), seorang lelaki dari Bani ‘Udzrah. Suami keduanya ini lalu membawa sang ibu beserta Qushay ke negeri asalnya di pinggiran Syām. Dengan demikian, Qushay tumbuh dewasa di daerah tersebut. Setelah beranjak dewasa, Qushay memutuskan untuk kembali ke Mekah, tempat tinggal sang ayah.
Ketika Qushay sampai ke Mekah, penguasa Mekah saat itu adalah Hulail bin Hubsyiyyah (حليل بن حبشة) yang masih dari kabilah Khuzā’ah. Hulail memiliki seorang anak perempuan yang bernama Hubba (حبى). Singkat cerita, Qushay melamar Hubba. Hulail pun bersimpati kepada Qushay dan akhirnya ia menikahkan putrinya dengannya. Dari pernikahan tersebut, Qushay dikaruniai beberapa orang anak, di antaranya Abdud Dār (عَبْدَ الدَّارِ), Abdu Manaf (عَبْدَ مَنَافٍ), dan Abdul ‘Uzza (عَبْدَ الْعُزَّى).
Pertikaian berdarah yang mengubah sejarah Mekah
Setelah keturunan dan harta Qushay melimpah serta kedudukannya mulia, Hulail meninggal dunia. Kemudian muncullah persengketaan antara kabilah Khuzā’ah dengan kabilah Quraisy yang akhirnya menimbulkan peperangan di antara dua kabilah tersebut. Ada banyak versi yang menjelaskan penyebab peperangan tersebut. Salah satu versinya adalah bahwa Qushay memandang bahwa dirinya lebih berhak untuk mengurusi Ka’bah dan Mekah dibandingkan kabilah Khuza’āh dan Bani Bakr. Ia juga memandang bahwa kabilah Quraisy adalah keturunan sejati Nabi Isma’il dan tokoh utamanya. Kemudian Qushay bercakap-cakap dengan sejumlah lelaki Quraisy dan Bani Kinānah untuk mengusir Khuzā’ah dan Bani Bakr dari Mekah. Mereka pun menyetujuinya.
Peperangan tersebut dimulai dengan masuknya Qushay bersama pasukannya ke Mekah dari arah ‘Aqabah lalu berkata, “Kami lebih utama untuk mengurusi Mekah dibandingkan kalian.” Qushay dan pasukan mulai menyerang Khuzā’ah dan akhirnya menguasai Mekah. Saat Mekah telah dikuasai, Kabilah Khuzā’ah dan Bani Bakr kemudian menjauhkan diri dari pasukan Qushay. Namun, Qushay tetap mengerahkan pasukan untuk menyerang mereka. Akhirnya, pertempuran tidak terelakkan dan terjadilah peperangan yang sengit. Pertempuran tersebut menyebabkan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.
Penengah konflik dan awal kekuasaan Qushay atas Mekah
Setelah beberapa lama berperang, kedua kelompok akhirnya saling menyeru untuk melakukan perdamaian. Lalu mereka menunjuk Ya’mur bin ‘Auf (يعمر بن عوف) sebagai penengah. Ya’mur lalu memutuskan bahwa Qushay lebih berhak atas Ka’bah dan pengurusan Mekah daripada Khuzā’ah. Semua pembunuhan yang dilakukan oleh Qushay terhadap mereka dianggap gugur, sedangkan pembunuhan yang dilakukan oleh Khuzā’ah dan Bani Bakr wajib membayar diyat. Akhirnya, kekuasaan Ka’bah dan Mekah diserahkan sepenuhnya kepada Qushay. Peristiwa penguasaan Mekah tersebut terjadi pada tahun 440 M. Dengan demikian, Qushay beserta keturunannya menjadi penguasa mutlak dan pemimpin keagamaan untuk Ka’bah yang dikunjungi oleh bangsa Arab dari seluruh penjuru Jazirah.
Di antara kontribusi Qushay di Mekah adalah menyatukan kembali Quraisy dari tempat-tempat yang berbeda-beda di luar Kota Mekah ke dalam kota tersebut. Ia membagi-bagikan tempat tinggal kepada kaumnya dan menetapkan tempat tinggalnya masing-masing.
Warisan dan jabatan penting yang dipegang Qushay
Di antara peninggalan bersejarah Qushay adalah didirikannya Dārun Nadwah olehnya di sisi utara Ka’bah dengan pintu menghadap ke Ka’bah. Darun Nadwah adalah perkumpulan kabilah Quraisy yang membahas perkara-perkara penting mereka. Darun Nadwah memiliki kedudukan yang penting bagi Quraisy, karena ia menjamin kesatuan suara dan penyelesaian masalah secara damai.
Saat Qushay berkuasa, ia memegang beberapa jabatan penting, yaitu menjadi pemimpin di Dārun Nadwah, pengibar panji perang (liwā’), dan pemegang kunci Ka’bah (hijābah), serta menjadi penyedia air (siqāyatul hajj) dan makanan (rifādatul hajj) bagi jemaah haji ketika tiba di Mekah. Qushay kemudian berwasiat akan menyerahkan jabatan-jabatan tersebut kepada Abdud Dār, putra sulungnya. Keputusan Qushay tersebut diterima oleh anak keturunannya hingga Abdu Manāf meninggal dunia.
Persengketaan di antara keturunan Qushay
Setelah meninggalnya Abdu Manāf, anak keturunannya bersaing dengan anak keturunan Abdud Dār untuk bisa menjalankan jabatan-jabatan penting tersebut. Akhirnya, Quraisy terpecah menjadi dua kelompok dan hampir terjadi peperangan antara keduanya. Untungnya, mereka saling menyeru untuk melakukan perdamaian dan membagi pemegang jabatan-jabatan tersebut. Jabatan penyedia air dan makanan untuk jemaah haji akhirnya dipegang oleh anak keturunan Abdu Manaf, sedangkan jabatan Darun Nadwah, pengibar panji perang, dan pemegang kunci Ka’bah dipegang oleh anak keturunan Abdud Dār.
Selanjutnya anak keturunan Abdu Manāf melakukan pengundian untuk menentukan siapa yang akan memegang jabatan tersebut. Dari pengundian tersebut, keluarlah nama Hāsyim bin Abdu Manaf (هاشم بن عبد مناف). Dengan demikian Hāsyimlah yang memegang jabatan penyedia makanan dan minuman untuk jemaah haji sepanjang hidupnya. Setelah Hasyim meninggal dunia, jabatan tersebut dipegang oleh saudaranya, al-Muththalib bin Abdu Manaf (المطلب بن عبد مناف). Setelah Al-Muththalib meninggal dunia, jabatan tersebut beralih kepada Abdul Muththalib (عبد المطلب بن هاشم), kakek Rasulullah shallāllahu ‘alaihi wasallam. Jabatan tersebut silih berganti dipegang oleh anak keturunan Abdul Muththalib hingga datang Islam. Di masa Islam, jabatan penyedia air dan makanan untuk jemaah haji dipegang oleh al-‘Abbas bin Abdul Muththalib (العباس بن عبد المطلب).
Jabatan penting lainnya yang dipegang oleh Quraisy
Selain kelima jabatan utama tersebut, kabilah Quraisy juga memegang jabatan lain. Jabatan-jabatan lain ini menjadikan mereka seperti membentuk negara kecil menyerupai negara demokratis. Mereka memiliki struktur dan lembaga pemerintahan yang menyerupai parlemen dan majelis-majelis di masa kini. Daftar jabatan pada saat itu: al-īsār, tahjīr al-amwāl, syūrā, al-asynāq, al-‘uqāb, al-qubbah, dan as-sifārah. Al-īsār adalah tugas mengelola anak panah untuk meminta keputusan dari berhala. Jabatan ini dipegang oleh Bani Jumah. Taḥjīr al-amwāl adalah tugas mengatur persembahan dan nazar yang dipersembahkan kepada berhala, serta menyelesaikan persengketaan dan perkara hukum. Jabatan ini dipegang oleh Bani Sahm.
Asy-syūrā adalah jabatan permusyawaratan yang dipegang oleh Bani Asad. Al-asynāq adalah jabatan pengelola diyat (uang tebusan pembunuhan) dan denda yang dipegang oleh Bani Taim. Al-‘uqāb adalah jabatan pembawa panji kabilah Quraisy yang dipegang oleh Bani Umayyah. Al-qubbah adalah jabatan pengatur perkemahan militer dan komando pasukan berkuda. Jabatan ini dipegang oleh Bani Makhzūm. As-sifārah adalah jabatan perwakilan diplomatik kepada kabilah lain yang mana jabatan ini dipegang oleh Bani ‘Adī.
Demikianlah kisah peralihan kekuasaan atas Mekah dari tangan kabilah Khuza’ah ke tangan kabilah Quraisy melalui tokoh sentral Qushay bin Kilāb. Kepemimpinan Quraisy pun terus berlanjut dan mengakar hingga masa kelahiran Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam.
[Bersambung]
***
Penulis: Fajar Rianto
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Disarikan dari kitab Ar-Rahīq Al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dan as-Sīrah an-Nabawiyyah, karya Ibnu Hisyām; dengan beberapa tambahan informasi.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107230-jazirah-arab-dalam-sejarah-bag-5-kebangkitan-kepemimpinan-quraisy-atas-mekah.html